Humble Bragging: Ketika Merendah untuk Meninggi Menjadi Strategi Sosial

Facebook
LinkedIn
WhatsApp
Twitter
Humble Bragging: Ketika Merendah untuk Meninggi Menjadi Strategi Sosial

Di era media sosial, kita sering melihat postingan yang mengundang berbagai reaksi. Salah satu yang cukup populer adalah humble bragging—fenomena merendah untuk meninggi atau membanggakan diri dengan cara yang tersamar. Strategi ini memanfaatkan kepandaian dalam berkomunikasi untuk menutupi keinginan menonjolkan diri dengan sedikit sentuhan “kerendahan hati” yang terkesan palsu. Fenomena ini tidak hanya menarik dari sisi psikologis, tetapi juga berkaitan erat dengan kebutuhan manusia untuk diterima secara sosial dan memperkuat citra diri.

Artikel ini akan membahas humble bragging secara lebih mendalam: bagaimana fenomena ini bekerja, apa yang mendorong seseorang untuk melakukannya, serta dampaknya terhadap hubungan sosial dan kepercayaan. Kita juga akan menggunakan beberapa analogi untuk lebih memahami mekanisme humble bragging dalam interaksi sehari-hari.

Apa Itu Humble Bragging?

Sumber: Pexels

Humble bragging adalah strategi di mana seseorang membanggakan dirinya sendiri secara tersirat dengan cara menambahkan elemen “keluhan” atau “kerendahan hati” untuk menyeimbangkan pernyataan tersebut. Misalnya, seseorang mungkin menulis, “Capek banget selalu jadi pilihan utama di setiap proyek kantor, ingin waktu untuk diri sendiri,” atau “Duh, berat banget bawa mobil sport di jalanan Jakarta yang macet.”
Bayangkan humble bragging seperti permen dengan rasa pahit di dalamnya. Dari luar terlihat manis dan polos, tapi begitu dirasakan, kita sadar ada sesuatu yang “tidak enak” di dalamnya. Pujian tersembunyi ini menimbulkan kesan bahwa si pelaku ingin meraih validasi tanpa terlihat berusaha terlalu keras. Pada akhirnya, rasa manis itu (kerendahan hati) tidak sepenuhnya menghilangkan rasa pahit yang ada di baliknya.

Mengapa Orang Melakukan Humble Bragging?

Sumber: Pexels

Fenomena ini muncul dari kebutuhan untuk diterima dan dihargai dalam lingkup sosial, terutama di media sosial yang menjadi panggung utama untuk menunjukkan “sisi terbaik” diri kita. Ada beberapa alasan mengapa seseorang memilih humble bragging daripada jujur dalam menyampaikan pencapaian atau perasaan bangga.

  1. Ingin Menunjukkan Capaian tanpa Terlihat Sombong
    Banyak orang menyadari bahwa terlalu blak-blakan dalam membanggakan diri bisa mengundang kesan negatif atau dianggap arogan. Humble bragging jadi pilihan yang dianggap aman untuk menonjolkan diri secara tersamar.
  2. Mencari Validasi Sosial
    Sebagian orang merasa kurang percaya diri dan membutuhkan validasi dari lingkungan sosialnya. Dengan cara ini, mereka berharap mendapat pujian tanpa terlihat meminta.
  3. Tekanan Sosial dari Standar Media Sosial
    Media sosial adalah tempat di mana semua orang berusaha menampilkan versi ideal dari diri mereka. Namun, kebanyakan juga tidak ingin dianggap terlalu mengagungkan diri, sehingga humble bragging menjadi kompromi.

Dampak Humble Bragging terhadap Interaksi Sosial

Sayangnya, humble bragging seringkali justru memberikan dampak negatif, baik terhadap citra diri si pelaku maupun hubungan sosialnya. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang terlalu sering menggunakan strategi ini cenderung dilihat sebagai tidak tulus atau tidak autentik.

Bagaimana Menghindari Humble Bragging dan Bersikap Tulus?

Jika humble bragging dilakukan karena adanya kebutuhan untuk menghindari kesan sombong, maka ada beberapa cara untuk menyampaikan capaian atau pengalaman tanpa perlu terlihat memohon pujian atau bersembunyi di balik kata-kata. Beberapa tips berikut bisa menjadi panduan:

  1. Sampaikan dengan Jujur tanpa Berlebihan
    Menghargai pencapaian diri sendiri adalah hal yang wajar. Katakan dengan tulus tanpa menambahkan elemen “keluhan” yang bisa terlihat sebagai manipulatif. Misalnya, alih-alih mengatakan, “Duh, susah banget menjaga semua nilai sempurna ini,” lebih baik cukup dengan, “Senang bisa mendapatkan nilai yang baik. Semoga terus bisa konsisten!”
  2. Berikan Pengakuan pada Orang Lain
    Tunjukkan apresiasi pada dukungan atau bantuan yang diterima. Dengan melibatkan orang lain dalam pencapaian, pernyataan akan terasa lebih tulus dan rendah hati tanpa harus menambahkan “perisai” berupa keluhan.
  3. Kendalikan Kebutuhan Validasi di Media Sosial
    Validasi eksternal memang menyenangkan, namun terlalu sering mengandalkan hal ini bisa membuat kita cenderung mencari-cari cara untuk mendapatkan pujian. Fokuslah pada perkembangan diri dan apresiasi diri secara internal.

Humble bragging adalah strategi sosial yang sering digunakan untuk menjaga citra diri tanpa terlihat terlalu mencolok. Meski tampak sebagai solusi untuk menghindari kesan sombong, humble bragging justru dapat menurunkan kepercayaan orang lain dan membuat kita terlihat tidak tulus.
Seseorang yang autentik ibarat buku yang menarik bukan hanya karena sampulnya yang berkilauan, tetapi juga karena isi yang kaya dan jujur. Ketulusan menarik orang lebih dekat, sementara kesan palsu justru bisa menjauhkan orang-orang. Maka dari itu, semakin autentik dan jujur kita dalam mengekspresikan diri, semakin baik pula hubungan sosial yang bisa kita bangun.

Baca juga: Hustle Culture: Budaya Kerja yang Berlebihan dan Berbahaya