Distimia yang sering kali dianggap sebagai gangguan depresi mayor, adalah gangguan mental yang lebih serius dan membutuhkan perawatan. Distimia adalah jenis depresi jangka panjang yang menghancurkan kualitas hidup seseorang dengan cara yang halus tetapi terus menerus.
Hal ini menjadikannya sebuah tantangan yang sering diabaikan dalam dunia kesehatan mental.
Apa Itu Distimia?
Distimia adalah jenis depresi jangka panjang yang sering kali diabaikan. Kondisi ini, juga dikenal sebagai Persistent Depressive Disorder (PDD.
Persistent Depressive Disorder ini berlangsung selama beberapa tahun dan cenderung lebih ringan dibandingkan depresi mayor. Meskipun begitu, distimia dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup seseorang dan memerlukan perhatian medis serta psikologis.
Gejala Distimia
Meskipun gejala distimia tidak seintensif depresi mayor, kehadirannya menyebabkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.
- Perasaan sedih atau murung yang berkepanjangan
- Kehilangan minat atau kesenangan dalam kegiatan rutin
- Perubahan pola tidur dan nafsu makan
- Kelelahan dan kekurangan energi
- Rasa putus asa atau pesimisme
- Sulit berkonsentrasi atau mengambil keputusan
- Perasaan rendah diri dan tidak berharga
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Autis Pada Anak Sejak Dini
Penyebab Distimia
Kondisi kesehatan mental yang rumit ini sayangnya belum memiliki penyebab yang jelas. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kombinasi dari faktor biologis, psikologis, dan lingkungan berperan dalam pengembangannya. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai faktor-faktor yang menyebabkan distimia:
1. Faktor Biologis
- Perubahan Kimiawi Otak: Penelitian menunjukkan bahwa distimia dapat dikaitkan dengan perubahan dalam neurotransmiter otak, seperti serotonin dan norepinefrin, yang mempengaruhi suasana hati dan perilaku.
- Perbedaan Genetik: Genetika memainkan peran penting dalam mengatur suasana hati dan emosi. Individu dengan riwayat keluarga depresi memiliki risiko lebih tinggi mengembangkan distimia.
- Kelainan pada Otak: Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa perubahan struktural atau fungsional di otak, akibat dari kondisi seperti stroke atau trauma kepala, bisa berkontribusi pada pengembangan distimia.
2. Faktor Psikologis
- Riwayat Trauma atau Kekerasan: Pengalaman traumatik, seperti kekerasan fisik atau emosional, sering kali dikaitkan dengan risiko lebih tinggi mengembangkan distimia.
- Riwayat Keluarga dengan Depresi: Riwayat depresi dalam keluarga tidak hanya berhubungan dengan faktor genetik tetapi juga dengan lingkungan dan pola asuh yang mungkin mempengaruhi kesehatan mental seseorang.
- Masalah Kepribadian: Gangguan kepribadian, termasuk kecemasan dan obsesif-kompulsif, sering kali berinteraksi dengan distimia, memperburuk gejalanya atau bahkan memicu pengembangan kondisi ini.
3. Faktor Lingkungan
- Stres Kronis: Faktor seperti tekanan di tempat kerja, masalah keuangan, atau situasi hidup yang menegangkan dapat memicu atau memperburuk distimia.
- Kehilangan Orang yang Dicintai: Duka yang berkepanjangan atau tidak teratasi atas kehilangan orang yang dicintai dapat menyebabkan atau meningkatkan gejala distimia.
- Penyakit Kronis: Menghadapi penyakit kronis bisa menjadi sumber stres yang konstan dan berdampak pada kesehatan mental, termasuk pengembangan distimia.
Baca juga: Mengenal Overthinking Dan Cara Mengatasinya
Kenapa Distimia Sering Diabaikan?
Distimia sering diabaikan karena beberapa alasan utama:
- Gejala yang Lebih Ringan: Berbeda dengan depresi mayor yang memiliki gejala yang lebih intens dan mudah dikenali, gejala distimia cenderung lebih ringan. Karena intensitasnya yang lebih rendah, orang-orang mungkin tidak menyadari bahwa mereka atau orang lain mengalami distimia.
- Durasi Panjang dan Fluktuatif: Karena distimia adalah kondisi jangka panjang, individu mungkin telah terbiasa dengan gejalanya dan menganggapnya sebagai bagian normal dari kehidupan mereka. Fluktuasi dalam intensitas gejala juga dapat membuat diagnosis menjadi lebih sulit.
- Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman: Ada kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang distimia di kalangan masyarakat umum. Banyak orang tidak menyadari bahwa depresi kronis jangka panjang seperti distimia adalah kondisi kesehatan mental yang sah dan memerlukan perhatian.
- Stigma Sosial: Stigma mengenai masalah kesehatan mental dapat menyebabkan orang enggan mencari bantuan. Mereka mungkin merasa malu atau khawatir akan penilaian sosial jika mengakui bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental.
- Pendekatan ‘Berpelukan dengan Kesedihan’: Dalam beberapa kasus, individu dengan distimia mungkin memiliki pola pikir yang menganggap kesedihan dan apati sebagai bagian tak terpisahkan dari kepribadian atau situasi hidup mereka, bukan sebagai masalah kesehatan yang perlu ditangani.
- Diagnostik yang Sulit: Distimia bisa sulit didiagnosis karena gejalanya sering kali tumpang tindih dengan kondisi lain atau dianggap sebagai bagian dari gangguan kesehatan mental lain.
Dampak Ke Kehidupan dan Cara Menanggulanginya
Mereka yang mengalami distimia dapat mengalami dampak pada berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk hubungan interpersonal, kinerja di tempat kerja, dan kesehatan fisik. Mereka sering kali mengalami kesulitan untuk menjaga hubungan yang sehat, menunjukkan kinerja yang tidak konsisten di tempat kerja, dan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kondisi kesehatan fisik seperti diabetes dan penyakit jantung.
Terapi obat seperti antidepresan dan psikoterapi adalah komponen dari pengobatan distimia yang kompleks. Terapi perilaku kognitif (CBT) biasanya berhasil mengubah pola pikir negatif seseorang. Untuk menangani distimia, juga penting untuk mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman serta melakukan perubahan gaya hidup seperti berolahraga secara teratur dan mematuhi pola makan sehat.
Itulah pembahasan singkat mengenai kondisi distimia. Penting bagi individu yang mengalami gejala distimia untuk mencari bantuan medis dan psikologis guna mengelola kondisi ini secara efektif.
Baca juga: Pengertian Physical Touch, Macam Dan Caranya