Sebagai manusia, kita telah diajarkan untuk menjaga kesehatan tubuh sejak usia dini. Mulai dari menyikat gigi secara teratur hingga mengenakan pelindung luka seperti plester, kita sudah sangat familiar dengan bagaimana merawat kesehatan fisik.
Namun, bagaimana dengan kesehatan mental kita? Mengapa kita jarang memperhatikannya dengan cara yang sama? Apakah kesehatan fisik lebih penting daripada kesehatan psikologis?
Mengenal Bias Favoritisme antara Tubuh dan Pikiran
Berkembang bersama seorang saudara kembar identik, penulis menyadari betapa terlatihnya dia dalam mengenali favoritisme, bahkan dalam hal yang sepele seperti ukuran kue yang sedikit lebih besar milik saudara kembarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, penulis menemukan bentuk favoritisme lain yang lebih mendalam, yaitu bagaimana kita lebih menghargai tubuh daripada pikiran kita. Saat menjadi seorang psikolog, penulis mulai memperhatikan bahwa banyak orang cenderung menganggap psikolog bukan “dokter sejati,” hanya karena tidak berfokus pada tubuh manusia. Padahal, merawat kesehatan mental sama pentingnya dengan merawat kesehatan fisik.
Mengapa Kita Lebih Memperhatikan Kesehatan Fisik daripada Psikologis?
Kita tahu bahwa memelihara kesehatan fisik adalah hal yang penting—seperti menyikat gigi dua kali sehari dan merawat luka dengan benar agar tidak terinfeksi. Namun, apa yang kita ajarkan pada anak-anak tentang kebersihan emosional dan menjaga kesehatan mental mereka? Seiring bertambahnya usia, banyak dari kita yang tidak dilatih untuk merawat kesehatan mental. Padahal, kita lebih sering mengalami cedera psikologis daripada cedera fisik. Cedera psikologis seperti kegagalan, penolakan, dan kesepian dapat menjadi lebih buruk jika dibiarkan dan dapat mempengaruhi hidup kita secara dramatis.
1. Cedera Psikologis: Bagaimana Rasa Kesepian Dapat Menghancurkan Kita
Kesepian adalah salah satu jenis cedera psikologis yang paling mendalam. Penulis menceritakan pengalaman pribadinya saat tinggal di luar negeri untuk melanjutkan studi psikologi. Meski dikelilingi banyak orang, ia merasa kesepian karena terpisah jauh dari keluarganya. Kesepian membuatnya merasa bahwa orang-orang disekitarnya tidak begitu peduli padanya, dan ini membuatnya takut untuk menghubungi orang lain. Penulis pun mengungkapkan data mengejutkan bahwa kesepian kronis dapat meningkatkan risiko kematian lebih cepat hingga 14%. Kondisi ini juga berhubungan dengan masalah kesehatan lainnya seperti tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh.
2. Menghadapi Kegagalan dan Penolakan: Mengapa Kita Harus Mengelola Pikiran Kita
Kegagalan adalah bagian dari hidup yang tidak bisa kita hindari. Namun, seringkali kegagalan ini merusak keyakinan kita terhadap diri sendiri. Penulis memberi contoh dengan menggambarkan tiga anak kecil yang bermain dengan mainan identik. Dua diantaranya gagal ketika mencoba menekan tombol merah, sementara yang ketiga berhasil. Kegagalan ini bukan karena mereka tidak bisa, tetapi karena pikiran mereka meyakinkan mereka bahwa mereka tidak bisa. Ini adalah contoh bagaimana pikiran kita bisa menipu kita, bahkan ketika kita sebenarnya mampu. Kegagalan yang tidak dikelola dengan baik dapat membuat kita berhenti mencoba dan semakin mempercayai bahwa kita tidak mampu meraih tujuan kita.
3. Pentingnya Kesehatan Emosional: Menjaga Diri dari Pikiran Negatif
Penulis mengingatkan kita bahwa banyak orang cenderung memperburuk cedera psikologis mereka dengan berpikir negatif. Misalnya, setelah mengalami penolakan dalam hubungan, seseorang mungkin akan merendahkan diri sendiri dan mengkritik penampilannya. Hal ini justru akan membuat kondisi emosional semakin buruk. Penulis menyarankan agar kita menjaga harga diri kita setelah mengalami penolakan, sama seperti kita merawat luka fisik kita. Menjaga harga diri dengan penuh kasih sayang terhadap diri sendiri dapat mempercepat pemulihan kita setelah peristiwa emosional yang menyakitkan.
4. Ruminasisasi: Kebiasaan Berbahaya yang Harus Dihindari
Ruminasisasi adalah kebiasaan buruk yang melibatkan mengulang-ulang kejadian menyakitkan dalam pikiran kita, seperti kemarahan terhadap atasan atau kecemasan atas kegagalan. Penulis mengungkapkan bahwa kebiasaan ini sangat merugikan, karena dapat berujung pada masalah kesehatan mental yang lebih serius seperti depresi, kecanduan, dan gangguan makan. Menurut penulis, penting untuk menyadari kebiasaan ini dan mengubahnya, agar kita tidak terperangkap dalam spiral negatif yang memperburuk keadaan mental kita.
Kesehatan fisik dan mental adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kita perlu memberi perhatian yang sama besar pada kesehatan psikologis kita seperti yang kita lakukan pada tubuh kita. Dengan menjaga kebersihan emosional, mengelola kegagalan, menghindari ruminasisasi, dan memberikan perhatian pada rasa kesepian, kita dapat meraih kehidupan yang lebih seimbang dan bahagia. Sama halnya dengan memelihara tubuh, merawat kesehatan mental kita adalah langkah yang krusial untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik dan panjang.