Apa Itu Quiet Quitting? Psikologi di Balik Tren Ini

Facebook
LinkedIn
WhatsApp
Twitter
Apa Itu Quiet Quitting Psikologi di Balik Tren Ini

Belakangan ini, istilah “quiet quitting” semakin sering terdengar, terutama di dunia kerja. Istilah ini menggambarkan fenomena ketika karyawan memutuskan untuk tidak melakukan lebih dari apa yang diminta dalam deskripsi pekerjaan mereka. Quiet quitting bukan berarti benar-benar berhenti bekerja, tetapi lebih kepada menolak ekspektasi berlebihan yang sering muncul di tempat kerja. Tren ini menjadi topik hangat di media sosial dan forum diskusi karena mencerminkan pergeseran dalam cara orang melihat pekerjaan. Namun, apa sebenarnya psikologi di balik quiet quitting, dan mengapa ini menjadi relevan saat ini?

Definisi Quiet Quitting

Quiet quitting adalah sikap di mana seorang pekerja membatasi kontribusinya hanya pada tugas-tugas yang secara eksplisit menjadi tanggung jawabnya. Mereka tidak lagi bersedia mengorbankan waktu atau energi untuk pekerjaan tambahan yang tidak dibayar atau tidak diakui. Tren ini sering muncul sebagai respons terhadap budaya kerja yang mendorong karyawan untuk terus “melampaui batas” atau berpartisipasi dalam “hustle culture.”

Psikologi Dibalik Quiet Quitting

1. Burnout atau Kelelahan Kerja

Salah satu alasan utama quiet quitting adalah burnout. Burnout terjadi ketika seseorang merasa lelah secara fisik, emosional, dan mental akibat tekanan kerja yang berlebihan. Psikologi menunjukkan bahwa individu yang mengalami burnout cenderung mencari cara untuk melindungi diri mereka sendiri, termasuk dengan mengurangi keterlibatan dalam pekerjaan.

Menurut teori konservasi sumber daya (Conservation of Resources Theory) yang dikemukakan oleh Hobfoll, individu memiliki sumber daya terbatas seperti energi, waktu, dan perhatian. Ketika sumber daya ini terkuras, mereka akan berusaha melindungi apa yang tersisa dengan mengurangi upaya di tempat kerja.

2. Ketidakseimbangan Antara Kehidupan dan Pekerjaan (Work-Life Balance)

Psikologi modern menekankan pentingnya work-life balance untuk kesehatan mental. Quiet quitting sering kali dipilih oleh mereka yang merasa bahwa pekerjaan telah mengambil alih aspek penting lain dalam hidup mereka, seperti keluarga, hobi, atau waktu istirahat. Dengan membatasi keterlibatan mereka, mereka mencoba mengembalikan keseimbangan tersebut.

3. Kurangnya Pengakuan dan Reward

Karyawan yang merasa tidak dihargai sering kali kehilangan motivasi untuk memberikan lebih dari yang diminta. Menurut teori motivasi Herzberg, faktor seperti pengakuan, pencapaian, dan peluang pengembangan adalah elemen penting yang mempengaruhi kepuasan kerja. Ketika elemen ini hilang, karyawan cenderung mundur secara emosional dari pekerjaan mereka.

4. Perubahan Nilai dan Prioritas

Generasi muda, seperti generasi milenial dan Gen Z, menunjukkan perubahan nilai yang signifikan dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka lebih memprioritaskan kesejahteraan pribadi, kebebasan, dan tujuan hidup yang bermakna dibandingkan dengan hanya mengejar gaji tinggi atau jabatan. Quiet quitting mencerminkan nilai-nilai ini, di mana pekerjaan bukan lagi pusat dari kehidupan mereka.

Dampak Quiet Quitting

1. Dampak bagi Karyawan

Quiet quitting dapat memberikan manfaat dalam jangka pendek, seperti mengurangi stres dan meningkatkan waktu untuk diri sendiri. Namun, jika terus berlangsung, hal ini dapat menyebabkan karyawan kehilangan peluang untuk berkembang, merasa terasing dari tim, dan bahkan kehilangan rasa tujuan di tempat kerja.

2. Dampak bagi Perusahaan

Bagi perusahaan, quiet quitting bisa menjadi tantangan besar. Produktivitas tim dapat menurun, dan budaya kerja yang positif dapat terpengaruh. Selain itu, perusahaan mungkin mengalami kesulitan dalam mempertahankan karyawan yang berpotensi tinggi karena kurangnya keterlibatan.

3. Dampak pada Hubungan Sosial di Tempat Kerja

Quiet quitting juga dapat mempengaruhi hubungan antar kolega. Ketika seseorang hanya melakukan tugas minimal, anggota tim lainnya mungkin merasa terbebani untuk mengisi kekosongan tersebut, yang pada akhirnya dapat menciptakan konflik.

Bagaimana Mengatasi Quiet Quitting?

1. Membuka Komunikasi yang Jujur

Pimpinan dan manajer perlu menciptakan lingkungan dimana karyawan merasa nyaman untuk berbicara tentang beban kerja mereka, tujuan pribadi, dan harapan terhadap pekerjaan. Komunikasi yang terbuka dapat membantu mengidentifikasi masalah sebelum berkembang menjadi quiet quitting.

2. Memberikan Pengakuan dan Reward

Perusahaan harus memastikan bahwa kontribusi karyawan dihargai. Pengakuan yang tulus, baik secara verbal maupun dalam bentuk insentif, dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan karyawan.

3. Meningkatkan Keseimbangan Kehidupan dan Pekerjaan

Kebijakan seperti jam kerja fleksibel, cuti yang memadai, dan dukungan kesehatan mental dapat membantu karyawan merasa lebih seimbang. Perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan karyawan cenderung memiliki tingkat keterlibatan yang lebih tinggi.

4. Mengembangkan Budaya Kerja yang Positif

Budaya kerja yang sehat dapat mendorong karyawan untuk merasa terhubung dengan tujuan perusahaan. Ini termasuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, mendukung, dan mendorong kolaborasi.

Quiet quitting adalah fenomena yang mencerminkan perubahan besar dalam cara orang memandang pekerjaan. Psikologi di balik tren ini menunjukkan bahwa karyawan semakin sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan hidup, menghindari burnout, dan mendapatkan pengakuan yang layak. Baik karyawan maupun perusahaan dapat mengambil langkah proaktif untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif. Dengan pemahaman yang lebih baik, quiet quitting bisa menjadi awal dari transformasi positif dalam dunia kerja.

Baca juga: Cara Berteman dengan Stress